Pendidikan Moral , Di sekolah? Hampir tidak ada karena semua metode sudah dipersiapkan dengan baik. Namun diluar sekolah? Banyak yang harus ...
Pendidikan Moral, Di sekolah? Hampir tidak ada karena semua metode sudah dipersiapkan dengan baik. Namun diluar sekolah? Banyak yang harus diperbaiki dan diperbaharui. Karena berbicara tentang pendidikan moral maka saya akan berfokus kepada anak-anak sebab anak-anak lah yang harus diperhatikan karena moral mereka akan menentukan karakter mereka kedepan.
Jadi apa yang perlu diperbaiki? Apakah anak-anak perlu dibatasi pertemanannya dan hal-hal yang membuat moralnya jatuh? Jawabannya tidak. Yang perlu diperbaiki adalah Mengenalkan semua hal baru tersebut kepada anak-anak dalam lingkup dan pengawasan orang dewasa. Sebagai contoh menonton film porno, kita sebagai orang dewasa (orang tua, guru, kakak, dll) bisa mengenalkan apa yang dimaksud dalam film tersebut (tentunya dalam penjelasan ilmiah dan bertanggung jawab, bukan untuk memancing hasrat anak tersebut). Tujuannya adalah memberikan edukasi sejak dini. Jika anak tersebut tahu dari lingkup orang-orang yang bertanggung jawab maka logika berpikir dia akan terbentuk dan menjadi orang yang bertanggung jawab pula dan bahkan bisa menasehati teman-teman nya yang lain.
Begitu juga dengan bahasa kasar, bermain game, bullying, dsb. Kita sebagai orang dewasa memiliki kewajiban untuk mengajarkan semua hal tersebut kepada anak-anak, bukan justru memarahinya/melarangnya atau bahkan tabu untuk membicarakannya. Karena jika hal itu tabu untuk dibicarakan, maka dengan siapa anak tersebut dapat mengetahuinya? Dengan teman sebayanya? Jelas salah dan itulah yang harus diperbaiki.
Sedangkan moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral adalah nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
John Neisbitt, menyebutkan kondisi seperti ini sebagai “gaya hidup global”, yang ditandai dengan berbaurnya budaya antar bangsa, seperti terbangunnya tatacara hidup yang hampir sama, kegemaran yang sama, serta kecenderungan yang sama pula, baik dalam hal makanan, pakaian, hiburan dan setiap aspek kehidupan manusia lainnya. Kenyataan semacam ini, akan membawa implikasi pada hilangnya kepribadian asli, serta terpoles oleh budaya yang cenderung lebih berkuasa. Dalam konteks ini, kebudayaan barat yang telah melangkah jauh dalam bidang industri serta teknologi informasi, menjadi satu-satunya pilihan, sebagai standar modernisasi, yang akan diikuti dan dijadikan kiblat oleh setiap individu. Globalisasi menyebabkan perubahan sosial yang memunculkan nilai-nilai yang bersifat pragmatis, materialistis dan individualistik.
Kisah Nyata Tawuran Pelajar
Ketika pulang siang atau sore hari waktu SMP. Saya waktu itu di atap kereta dan di stasiun Pasar Minggu. Tiba2 anak2 SMA atau STM lain meng-oper batu dari bawah ke anak2 lain yang di atas atap kereta. Merekapun mengingatkan penumpang untuk menutup pintu dan jendela. Benar saja, di tengah perjalanan sudah ada gerombolan anak sekolah lain di pinggir jalan melempari kami dengan batu. Untungnya tidak ada korban dalam insiden ini. Saya ingat akan hal ini karena saya merasakan desiran angin di kuping dan rambut saya dan bunyi “hujan batu" ketika di atas atap kereta api, seperti novel.
Siang hari waktu SMP. Sekolah saya berdekatan dengan sekolah SMP swasta. Karena sekolah kami termasuk ekonomi tengah ke atas, frekwensi tawuran tidak terlalu sering. Disinilah saya belajar untuk memanfaatkan lingkungan untuk berbaur ketika polisi datang melerai.
Siang hari waktu SMA. Ketika masih musim “ospek", senior mengumpulkan kami di lokasi yang biasa digunakan tawuran. Begitupun dengan sekolah lawan. Disinilah musim “pendidikan tawuran” dimulai. Menurut analisa saya, musim ini digunakan oleh para senior untuk memilih proxy untuk siswa baru. Siswa baru yang dilihat oleh senior memiliki nyali lebih dibanding kebanyakan siswa baru lainnya, dijadikan “jendral" untuk mengatur dan mengumpulkan logistik terhadap siswa baru.
Baru dimasa SMA lah saya diajari menggunakan “senjata" untuk tawuran. Waktu SMP hanya segelintir teman yang menggunakan “senjata". Namun ketika SMA hal tersebut menjadi lumrah.
Meskipun tawuran bukan sesuatu yang positif, namun saya harus mengakui bahwa dibawah tekanan bagaimanapun sekarang, saya tidak mudah panik. Filo Sosial
Pembaharuan pendidikan moral di sekolah
Kehidupan anak-anak bukanlah hanya di sekolah dan dirumah saja. Mereka memiliki teman sebaya baik itu teman rumahnya, teman sekolahnya atau bahkan teman yang baru dikenalnya (ya, anak-anak lebih mudah berteman dibanding orang dewasa). Masing-masing dari anak tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda (ada yang diawasi dengan baik oleh orang tuanya dan ada yang tidak, ada yang rewel dan ada yang tidak, ada yang berasal dari keluarga kecil, menengah hingga atas).Fenomena Pergeseran Moral Anak Sekolah
Ketika ada satu anak yang memiliki moral rusak maka anak tersebut dapat menularkan ke anak-anak lainnya. Sebagai contoh: menonton film porno, bermain game (sebab kebanyakan game adalah kekerasan), menggunakan bahasa kasar yang diikutinya dari orang lain, membully temannya sendiri hanya biar terlihat hebat di teman-teman lainnya atau bahkan karena paksaan dari teman-teman lainnya, dan masih banyak lagi. Hal ini disebabkan anak-anak suka mencontoh atau mengikuti apa yang baru ia lihat dan rasakan.Jadi apa yang perlu diperbaiki? Apakah anak-anak perlu dibatasi pertemanannya dan hal-hal yang membuat moralnya jatuh? Jawabannya tidak. Yang perlu diperbaiki adalah Mengenalkan semua hal baru tersebut kepada anak-anak dalam lingkup dan pengawasan orang dewasa. Sebagai contoh menonton film porno, kita sebagai orang dewasa (orang tua, guru, kakak, dll) bisa mengenalkan apa yang dimaksud dalam film tersebut (tentunya dalam penjelasan ilmiah dan bertanggung jawab, bukan untuk memancing hasrat anak tersebut). Tujuannya adalah memberikan edukasi sejak dini. Jika anak tersebut tahu dari lingkup orang-orang yang bertanggung jawab maka logika berpikir dia akan terbentuk dan menjadi orang yang bertanggung jawab pula dan bahkan bisa menasehati teman-teman nya yang lain.
Begitu juga dengan bahasa kasar, bermain game, bullying, dsb. Kita sebagai orang dewasa memiliki kewajiban untuk mengajarkan semua hal tersebut kepada anak-anak, bukan justru memarahinya/melarangnya atau bahkan tabu untuk membicarakannya. Karena jika hal itu tabu untuk dibicarakan, maka dengan siapa anak tersebut dapat mengetahuinya? Dengan teman sebayanya? Jelas salah dan itulah yang harus diperbaiki.
Aturan Undang-Undang Pendidikan Moral
Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.Sedangkan moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral adalah nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
Menumbuhkan Pendidikan Moral Di Era Globalisasi
Globalisasi memiliki sisi positif dan negatif terhadap pendidikan moral. Disatu sisi, arus globalisasi merupakan harapan yang akan memberikan berbagai kemudahan bagi kehidupan manusia. Namun disisi lain, era globalisasi juga memberikan dampak yang sangat merugikan. Dengan perkembangan sektor teknologi dan informasi, manusia tidak lagi harus menunggu waktu, untuk bisa mengakses berbagai informasi dari seluruh belahan dunia, bahkan yang paling pelosok sekalipun. Kondisi ini menjadikan tidak adanya sekat serta batas yang mampu untuk menghalangi proses transformasi kebudayaan.John Neisbitt, menyebutkan kondisi seperti ini sebagai “gaya hidup global”, yang ditandai dengan berbaurnya budaya antar bangsa, seperti terbangunnya tatacara hidup yang hampir sama, kegemaran yang sama, serta kecenderungan yang sama pula, baik dalam hal makanan, pakaian, hiburan dan setiap aspek kehidupan manusia lainnya. Kenyataan semacam ini, akan membawa implikasi pada hilangnya kepribadian asli, serta terpoles oleh budaya yang cenderung lebih berkuasa. Dalam konteks ini, kebudayaan barat yang telah melangkah jauh dalam bidang industri serta teknologi informasi, menjadi satu-satunya pilihan, sebagai standar modernisasi, yang akan diikuti dan dijadikan kiblat oleh setiap individu. Globalisasi menyebabkan perubahan sosial yang memunculkan nilai-nilai yang bersifat pragmatis, materialistis dan individualistik.
Waspada Terhadap Kenakalan Remaja - Kisah Nyata
Selama 6 tahun masa saya di SMP dan SMA, ada beberapa kejadian tawuran yang membekas diingatan Saya. Untuk sekedar diketahui, di masa ini saya menggunakan Kereta Listrik sebagai moda transportasi menuju dan dari sekolah.Kisah Nyata Tawuran Pelajar
Ketika pulang siang atau sore hari waktu SMP. Saya waktu itu di atap kereta dan di stasiun Pasar Minggu. Tiba2 anak2 SMA atau STM lain meng-oper batu dari bawah ke anak2 lain yang di atas atap kereta. Merekapun mengingatkan penumpang untuk menutup pintu dan jendela. Benar saja, di tengah perjalanan sudah ada gerombolan anak sekolah lain di pinggir jalan melempari kami dengan batu. Untungnya tidak ada korban dalam insiden ini. Saya ingat akan hal ini karena saya merasakan desiran angin di kuping dan rambut saya dan bunyi “hujan batu" ketika di atas atap kereta api, seperti novel.
Siang hari waktu SMP. Sekolah saya berdekatan dengan sekolah SMP swasta. Karena sekolah kami termasuk ekonomi tengah ke atas, frekwensi tawuran tidak terlalu sering. Disinilah saya belajar untuk memanfaatkan lingkungan untuk berbaur ketika polisi datang melerai.
Siang hari waktu SMA. Ketika masih musim “ospek", senior mengumpulkan kami di lokasi yang biasa digunakan tawuran. Begitupun dengan sekolah lawan. Disinilah musim “pendidikan tawuran” dimulai. Menurut analisa saya, musim ini digunakan oleh para senior untuk memilih proxy untuk siswa baru. Siswa baru yang dilihat oleh senior memiliki nyali lebih dibanding kebanyakan siswa baru lainnya, dijadikan “jendral" untuk mengatur dan mengumpulkan logistik terhadap siswa baru.
Baru dimasa SMA lah saya diajari menggunakan “senjata" untuk tawuran. Waktu SMP hanya segelintir teman yang menggunakan “senjata". Namun ketika SMA hal tersebut menjadi lumrah.
Meskipun tawuran bukan sesuatu yang positif, namun saya harus mengakui bahwa dibawah tekanan bagaimanapun sekarang, saya tidak mudah panik. Filo Sosial

COMMENTS